TAHAPAN PENCIPTAAN MANUSIA
(Sudut Pandang AL-Qur'an)
M. Andhis Abdillah S.Pd.
Penciptaan
adalah suatu peroses mewujudkan gagasan dalam kenyataan. Kata penciptaan
mengandung beberapa bagian atau komponen yaitu adanya pencipta/ pelaku
penciptaan, adanya bahan/ material yang dipakai, cara atau metode penciptaan,
transformasi dan model khusus dari hasil akhir atau penggunaannya (Asy’arī
,1992:55). Dalam Al-Qur`ān bahwa Tuhanlah pencipta semua yang ada di muka bumi.
Sesuai denga firman Allāh SWT:
Artinya:
“
Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya:
"Allāh". Katakanlah: "Maka patutkah kamu mengambil
pelindung-pelindungmu dari selain Allāh, padahal mereka tidak menguasai
kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?".
Katakanlah: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah
gelap gulita dan terang benderang; apakah mereka menjadikan beberapa sekutu
bagi Allāh yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan
itu serupa menurut pandangan mereka?" Katakanlah: "Allāh adalah
Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan yang Maha Esa lagi Maha
Perkasa". (Q.S. Ar-Ra’du [13] :16)
Penciptaan
manusia adalah suatu peroses yang secara individual manusia tidak terlibat di
dalamnya keterlibatan Tuhan dalam peroses penciptaan diatur melalui hukum-hukum
yang telah ditetapkan-Nya. Tahapan
penciptaan manusia, antara lain;
a.
Tahap jasad
Menurut
pandanga para ahli makna jasad di antaranya:
1) Abu
Ishak menjelaskan bahwa “Jasad ialah sesuatu yang tidak bisa berpikir dan tidak
dapat dilepaskan dari pengertian bangkai”.
2) Al-laīs
menjelaskan bahwa “Jasad adalah makhluk yang berjasad adalah makhluk yang makan
dan minum.
3) Tafsīr
al-fakhr' al-rāzī menjelaskan bahwa “ Jasad adalah tubuh manusia berupa jasad
dan daging. dalam Al-Qur`ān dijelaskan bahwa jasad manusia itu memerlukan
makanan dan tidak kekal”(Asy’arī
,1992:56).
Al-Qur`ān
menjelaskan bahwa permulaan penciptaan manusia
dalah dari tanah. Adapun istilah tanah dalam ditemukan yaitu turāb dan
Śalśal (Asy’arī
,1992:65).
1)
Turāb, yaitu tanah berdebu dan pada ayat lain disebut Tīn artinya
tanah lempung (Asy’arī ,1992:65). Allāh SWT berfirman:
Artinya:
“Dialah
yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu),
dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang dia sendirilah
mengetahuinya), Kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu” (Q.S. Al-An’ām[6]: 2).
Tanah yang
yang disebut Tīn ini mempunyai sifat melekat dan dalam hal ini (Asy’arī ,1992:65).
Allāh SWT berfirman:
Artinya:
“ Maka tanyakanlah kepada mereka
(musyrik Mekah): "Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa
yang Telah kami ciptakan itu?" Sesungguhnya kami Telah menciptakan mereka
dari tanah liat” (Q.S.
Aș-Șafat [37] : 11).
2)
Śalśal artinya tanah liat.
Allāh SWT berfirman:
Artinya:
“Dia menciptakan manusia dari tanah
kering seperti tembikar” (Q.S.
Ar-Raḥmān [55]:14).
Mengenai
tanah ini, pada ayat lain dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tanah adalah
saripatinya. Allāh SWT berfirman:
Artinya:
Dan Sesungguhnya kami Telah
menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.” (Q.S. Al-Mu'minūn [23]:12).
b.
Tahap Hayat
Al-ḥayyat
artinya
hidup, lawan kata dari al-Maūt artinya mati. Kata al-Ḥayy untuk
menyebut segala sesuatu yang tidak mati, bentuk jamaknya ialah al-aḥyā`.
Hakekat hidup adalah gerak. Jadi esensi hidup ada pada gerakan, suatu kehidupan
tidak dapat dimengerti tanpa adanya gerakan dan dalam setiap gerakan terpancar
adanya kehidupan. Benda yang hidup adalah benda yang mengalami gerakan,
sebaliknya benda yang mati adalah benda yang tidak adanya gerakan (Asy’arī, 1992 :67). Al-Qur`ān
menyatakan bahwa kehidupan itu bermula dari air. Seperti yang diterangkan dalam
Al-Qur`ān:
Artinya:
“Dan apakah orang-orang yang kafir
tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu
yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan dari air kami jadikan
segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (Q.S. Al-Anbiyā` [21] : 30).
c.
Tahap Rūḥ
Kata Rūḥ artinya yaitu angin. Oleh karena
itu ar-Rūḥ diesbut Al-nafs yaitu napas atau nyawa. Pandangan para
mufasīr berbeda-beda di antaranya;
1)
Abu Bakar al-Anbari mengemukakan,
kata ar-Rūḥ dan Al-nafs’
menurut artinya sama yaitu jiwa.
2)
Abu Haițam menyatakan bahwa Rūḥ
adalah nafas yang berjalan di seluruh jasad.Jika Rūḥ keluar maka manusia
tidak akan bernafas.
3)
Ibnu Kaśīr mengemukan Rūḥ itu
diapakai ddalam berbagai arti tetapi yang paling umum ialah suatu yang
dijadikan sandaran bagi jasad dan dengan Rūḥ itu tercipta kehidupan.
4)
Al-farābi mengemukakan kata ar-Rūḥ
itu mempunyai banyak arti yaitu (1) al-farh artinya kegembiraan (2)
Al-Qur`ān (3) al-amr` artinya perintah atau arah (4) Al-nafs artinya
jiwa (Asy’arī, 1992:70-71).
Di dalam Al-Qur`ān terdapat 21 kata ar-Rūḥ dalam 20 ayat.
Kata ar-Rūḥ digunakan dalam Al-Qur`ān dengan berbagai arti dan konteks,
di antaranya;
1)
Kata ar-Rūḥ dikaitkan
dengan kata al-qudūs. Allāh SWT berfirman:
Artinya:
“ Dan Sesungguhnya kami Telah mendatangkan Al
Kitab (Taūrat) kepada Musa, dan kami Telah menyusulinya (berturut-turut)
sesudah itu dengan rasul-rasul, dan Telah kami berikan bukti-bukti kebenaran
(mukjizat) kepada Isa putera Maryam dan kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus.
apakah setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang
tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; Maka beberapa orang
(diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?” (Q.S. Al-Baqarah [02] : 87).
Tentang
makna ar-Rūḥ al-qudus ini, ada beberapa pendapat. Pertama, menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan ar-Rūḥ al-qudus adalah malaikat Jibril. Kedua,
kitab Injil. Ketiga, Rūḥ yang dapat menghidupkan orang mati. Keempat,
Rūḥ yang dianugrahkan kepada Nabi Isa a.s. sebagai penghormatan kepadanya (
Asy’arī, 1992: 72).
2)
Kata ar-Rūḥ dikaitkan
dengan kata al-amīn. Allāh SWT
berfirman:
Artinya:
“Dia
dibawa turun oleh Ar-RūḥAl-amīn (Jibril)” (Q.S. Asy-Syu’arā` [26] : 193).
Makna ar-Rūḥ al-amīn adalah
malaikat Jibril yang terpercaya untuk menyampaikan wahyu kepada nabi-nabi
Allāh.
3)
Kata ar-Rūḥ sebagai
perintah Allāh yang disampaikan malaikat kepada hamba-hamba Allāh. Allāh SWT
berfirman:
Artinya:
“Dia menurunkan para malaikat dengan
(membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang dia kehendaki di antara
hamba-hamba-Nya, yaitu: "Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak
ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka hendaklah kamu bertakwa
kepada-Ku" (Q.S.
An-Naḥl [16] :2)
4)
Kata ar-Rūḥ untuk menyatakan sesuatu yang dihembuskan dari Tuhan ke
dalam diri manusia, dan menjadi bagian dari manusia. Dan selanjutnya Tuhan juga
menjadikan untuknya pengelihatan, pendengaran dan hati. Allāh SWT berfirman:
Artinya:
“Kemudian dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur” (Q.S. As-As-Sajdah [32] : 9).
d.
Tahap Nafs
Menurut Ibnu Ishak kata nafs dalam bahasa Arab digunakan dalam dua
pengertian. Pengetian pertama seperti dalam ungkapan telah keluar nafas seseorang atau nyawanya, sedangkan
pengertian kedua seperti dalam ungkapan yaitu seseorang telah membunuh dirinya,
artinya ia telah menghancurkan seluruh dirinya dan hakekatnya (Asy’arī, 1992:
78). Menurut Ibnu al-Bari bahwa nafs bisa bermakna Rūḥ dan bisa
bermakna hal yang bisa membedakan sesuatu dari yang lain. Menurut Ibnu Abbas,
dalam setiap diri manusia terdapat dua unsur nafs, yaitu akal yang bisa
membedakan sesuatu, dan rūḥ yang menjadi unsur kehidupan (Asy’arī, 1992: 78).
Di kalangan fisalat Islām, nafs diartikan
sebagai jiwa. Pengertian ini dipengaruhi oleh alam pikiran Yunani, yaitu dari
Aristoteles, yang dalam bukunya Nicomachean Ethics menyatakan bahwa jiwa
(the soul) di bagi menjadi dua bagian, yaitu (1) Jiwa Irrational dimiliki
bersama oleh manusia dan semua yang hidup serta tumbuh-tumbuhan yang
menyebabkan adanya pertumbuhan dan perkembangan (2) Jiwa Rational adalah
berpikir dan memutuskan, yang khusus dimiliki oleh manusia (Asy’arī, 1992: 78).
Teori ini, oleh Ibnu Sina dikembangkan dengan menyatakan adanya tiga jiwa
yaitu (1) Jiwa tumbuh-tumbuhan (Al-nafs’Al-Nabatiyyah) (2) Jiwa Binatang
( Al-nafs’Al-hayyawaniah) (3) Jiwa manusia ( Al-nafs’Al--Insāniah).
Jiwa tumbuh-tumbuhan (Al-nafs’Al-Nabātiah) mempunyai tiga daya, yaitu
(1) Daya membiak (Al-Muwallidah) (2) Daya makan (al-Gadiah) dan
(3) Daya Tumbuh (Al-Mu’niah). Jiwa Binatang mempunyai dua daya,
yaitu (1) Daya penggerak ( Al-Muharrikah) dan (2) DayaMenserap (Al-Mużrikah)
sedangkan jiwa manusia hanya memiliki daya berpikir yang disebut akal ( ’aqal)
(Asy’arī, 1992: 78).
Dalam Al-Qur`ān terdapat 140 ayat
yang menyebutkan kata Nafs bentuk jamaknya Nufūs`terdapat dalam 2
ayat dan bentuk jamak lainnya anfūs terdapat dalam 153 ayat. Al-Qur`ān
menggunakan kata nafs dalam empat pengertian yaitu;
Pertama, dalam pengertian
nafsu. Allāh SWT befirman:
Artinya:
“Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi raḥmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha penyanyang” (Q.S. Yūsuf [12] : 53).
Kedua, dalam pengertian nafas
atau nyawa. Allāh SWT berfrman:
Artinya:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan
pahalamu. barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga,
Maka sungguh ia Telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah
kesenangan yang memperdayakan” (Q.S.
Al-’Imrān [03] :185).
Ketiga, dalam pengertian jiwa.
Allāh SWT berfirman:
Artinya:
“(27)
Hai jiwa yang tenang. (28)
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diriḍāi-Nya.
(29) Maka masuklah ke dalam
Jama’ahhamba-hamba-Ku. (30) Masuklah ke
dalam syurga-Ku (Q.S.
Al-Fajr [89] : 27).
Keempat, dalam
pengertian diri dan kepribadian
Artinya:
“ Katakanlah: "Apakah Aku akan
mencari Tuhan selain Allāh, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan
tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya
sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain Kemudian
kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu
perselisihkan” (Q.S.
Al-An’ām[06]: 164).
Jasad sebagai sarana perhubungan fisik
dengan alam sekitarnya, yang merupakan bahan dasar bagi pembentukan kebudayaan.
Ḥayat sebagai daya hidup yang
menggerakan seluruh potensi diri dalam peroses pembentukan kebuadaayn dan Rūḥ
sebagai kekuatan yang bersifat kereatif yang memungkinkan munculnya
gagasan-gagasan dalam suatu konsep pembentukan kebudayaan (Asy’arī, 1992 :84).
Berbagai pandangan tentang
manusia tersebut berorentasi pada keberadaan dan kehidupan
manusia sebagaimana adanya di dunia. Manusia dipandang sebagai
suatu keberadaan dengan berbagai kondisinya, didalami, dianalisis, dan
bahkan diukur. Dalam pandangan tersebut, manusia dipahami dalam
konteks keduniaanya, sedangkan sisi keakhiratannya, yaitu sisi dari
mana manusia berasal dan akan kembali, belum menjadi bagian dari
pandangan terdahulu itu. Pandangan-pandangan seperti itu belumlah
lengkap, mengingat bahwa manusia bukanlah sekedar makhluk keduniawian,
melainkan juga makhluk dengan sisi keakhirattan (Prayitno, 2009: 13).
Plato mengibaratkan (Tafsīr, 2006: 10) bahwa “
Jiwa manusia memiliki tiga elemen, yaitu roh, nafsu, dan rasio”. Dengan mengandaikan bahwa Rūḥ itu sebagai
kuda putih yang menarik kereta bersama kuda hitam (nafsu), yang dikendalikan
oleh kusir yaitu rasio yang berusaha mengontrol laju kereta. Sesuai dengan
firman AllāhSWT:
Artinya:
“Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allāh kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari kenikmatan duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allāh telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allāh tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan”(Q.S. Al-Qașaș [28]:77).
Pribadi manusia merupakan kombinasi dari Rūḥ
dan badan yang memiliki duniannya sendiri-sendiri yakni; dari amr dan
khaliq. Alasan utama dari penciptaan Rūḥ ialah agar manusia berada berada di dunia memperoleh pengetahuan
dengan menggunakan akal pikiran untuk mengetahui ciptaan Allāh dan melalui hal
tersebut kemudian ia juga mengenal Allāh (Othman, 1987: 117). Al-Gazali
menjelaskan bahwa:
Pembentukan (Taswiyyah) merupakan suatu peroses yang timbul di dalam
materi yang membuatnya cocok untuk menerima Rūḥ materi itu merupakan saripati
tanah liat nabi adam yang merupakan cikal bakal bagi keturunannya. Cikal bakal
atau sel benih (Nutfaḥ) ini, yang
semula adalah tanah liat, setelah melewati berbagai peroses akhirnya menjadi manusia. Tanah liat berubah
menjadi makanan (melalui tanaman dan hewan). Makanan menjadi darah,
darang menjadi sperma jantan dan indung telur betina. Sperma Jantan kemudian
bersatu dengan indung telur betina dalam suatu wadah. Hasil dari persatuan yang
terjadi di dalam rahim ini setelah melalui suatu peroses transformasi yang panjang sehingga mencapai resam tubuh
yang harmonis dan menjadi cocok untuk
menerima rūḥ (Othman, 1987: 115).
Al-jism
(tubuh)
adalah bagian yang paling tidak sempurna pada manusia. Ia terdiri atas
unsur-unsur materi, yang pada suatu saat posisinya bisa rusak. Karena itu, ia
tidak kekal. Di samping itu, al-jism tidak mempunyai daya sama sekali. Ia hanya
memiliki prinsip alami yang memperlihatkan bahwa ia tunduk kepada
kekuatan-kekutan di luarnya. Tegasnya, al-jism tanpa al-Rūḥ dan al-Nafs
adalah benda mati (Nasution, 1998 :
65). Menurut Al-Gazali bahwa:
Segala sesuatu yang ada di dalam diri mansuia,
dari seleranya yang terendah sampai
kelengkapan yang tertinggi, masing-masing mempunyai tempat dan tujuan di
dalam mencapai dalam mencapai tujuan akhirnya dengan mengecualikan Rūḥ.
Setiap sifat yang dimiliki manusia
memiliki dua bisikan hati implus yakni; Pertama, untuk
mendapatkan sesuatu yang dapat memuaskan dirinya sendiri atau dalam mengejar
tercapainya kebahagian yang sesungguhnya, tanpa menghiraukan akibatnya,
terhadap perkembangan pribadinya secara utuh; dan Kedua, dalam rangka memainkan peranananya di dalam suatu
keselarasan, yang diperlukan antara sesuatu, yang menjadi dasar kepribadian
manusia. Aspek yang disebut pertama itulah yang membuat dirinya sulit untuk
mencapai tujuaannya secara baik dan ini pula yang menempatkan dirinya di dalam
percobaan (Othman, 1987: 121-122).
Menurut Al-Gazali (Othman, 1987:124) bahwa “
Kebahagiaan manusia mempunyai empat bagian; 1) pengetahuan tentang manusia itu
sendiri (Rūḥ dan tubuh); 2) pengetahuan tentang Allāh 3) pengetahuan tentang
dunia ini menurut kenyataannya; 4) pengetahuan
tentang dunia Illahi sebagaimana adanya.
Diri manusia (Nafs) tidak dapat dijawab
secara sederhana pengertian ini dimaksudkan bahwa Rūḥ badan terikat dan
berkeja bersama-sama, tetapi pernyataan ini mengandung beberapa pertanyaan
seperti misalnya apakah sifat keperibadian manusia dan hubungan antara Rūḥ dan
badan.
1)
Sifat
kepribadian manusia
Corak sifat kepribadian manusia dan peran
manusia di dalam pengembangannya, terutama dimaksudkan untuk memperlihatkan
berbagai keadaan Rūḥ dalam kepribadian seseorang. Al-Gazali mengemukakan
bahwa:
Adanya suatu hirarki dalam tujuan yang
menguasai analisisnya dan merupakan dasar konsepsinya tentang tingkatan yang
normal pengembangan pribadi manusia dan dari pengalaman dan dari penahanan atau
penjerumusan tipe-tipe manusia (Othman, 1987: 131).
0 comments:
Post a Comment