Monday, March 28, 2016

TAHAPAN PENCIPTAAN MANUSIA (Sudut Pandang AL-Qur'an)

TAHAPAN PENCIPTAAN MANUSIA
(Sudut  Pandang AL-Qur'an)
M. Andhis Abdillah S.Pd.

Penciptaan adalah suatu peroses mewujudkan gagasan dalam kenyataan. Kata penciptaan mengandung beberapa bagian atau komponen yaitu adanya pencipta/ pelaku penciptaan, adanya bahan/ material yang dipakai, cara atau metode penciptaan, transformasi dan model khusus dari hasil akhir atau penggunaannya (Asy’arī ,1992:55). Dalam Al-Qur`ān bahwa Tuhanlah pencipta semua yang ada di muka bumi. Sesuai denga firman Allāh SWT:
Artinya:

“ Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya: "Allāh". Katakanlah: "Maka patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allāh, padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?". Katakanlah: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang; apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allāh yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?" Katakanlah: "Allāh adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Perkasa". (Q.S. Ar-Ra’du [13] :16)

Penciptaan manusia adalah suatu peroses yang secara individual manusia tidak terlibat di dalamnya keterlibatan Tuhan dalam peroses penciptaan diatur melalui hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya. Tahapan  penciptaan manusia, antara lain;
a.      Tahap jasad
Menurut pandanga para ahli makna jasad di antaranya:
1)      Abu Ishak menjelaskan bahwa “Jasad ialah sesuatu yang tidak bisa berpikir dan tidak dapat dilepaskan dari pengertian bangkai”.
2)      Al-laīs menjelaskan bahwa “Jasad adalah makhluk yang berjasad adalah makhluk yang makan dan minum.
3)      Tafsīr al-fakhr' al-rāzī menjelaskan bahwa “ Jasad adalah tubuh manusia berupa jasad dan daging. dalam Al-Qur`ān dijelaskan bahwa jasad manusia itu memerlukan makanan dan tidak kekal”(Asy’arī ,1992:56).

Al-Qur`ān menjelaskan bahwa permulaan penciptaan manusia  dalah dari tanah. Adapun istilah tanah dalam ditemukan yaitu turāb dan Śalśal (Asy’arī ,1992:65).
1)      Turāb, yaitu tanah berdebu dan pada ayat lain disebut Tīn artinya tanah lempung (Asy’arī ,1992:65). Allāh SWT berfirman:
Artinya:
“Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang dia sendirilah mengetahuinya), Kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu” (Q.S. Al-An’ām[6]: 2).

Tanah yang yang disebut Tīn ini mempunyai sifat melekat dan dalam hal ini (Asy’arī ,1992:65). Allāh SWT berfirman:
Artinya:
“ Maka tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): "Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang Telah kami ciptakan itu?" Sesungguhnya kami Telah menciptakan mereka dari tanah liat” (Q.S. Aș-Șafat  [37] : 11).
2)        Śalśal artinya tanah liat. Allāh SWT berfirman:
 Artinya:
“Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar” (Q.S. Ar-Raḥmān [55]:14).

Mengenai tanah ini, pada ayat lain dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tanah adalah saripatinya. Allāh SWT berfirman:
Artinya:
Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.”  (Q.S. Al-Mu'minūn [23]:12).

b.        Tahap Hayat
Al-ḥayyat artinya hidup, lawan kata dari al-Maūt artinya mati. Kata al-Ḥayy untuk menyebut segala sesuatu yang tidak mati, bentuk jamaknya ialah al-aḥyā`. Hakekat hidup adalah gerak. Jadi esensi hidup ada pada gerakan, suatu kehidupan tidak dapat dimengerti tanpa adanya gerakan dan dalam setiap gerakan terpancar adanya kehidupan. Benda yang hidup adalah benda yang mengalami gerakan, sebaliknya benda yang mati adalah benda yang tidak adanya  gerakan (Asy’arī, 1992 :67). Al-Qur`ān menyatakan bahwa kehidupan itu bermula dari air. Seperti yang diterangkan dalam Al-Qur`ān:
Artinya:
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (Q.S. Al-Anbiyā` [21] : 30).

c.          Tahap Rūḥ
Kata  Rūḥ artinya yaitu angin. Oleh karena itu ar-Rūḥ diesbut Al-nafs yaitu napas atau nyawa. Pandangan para mufasīr berbeda-beda di antaranya;
1)      Abu Bakar al-Anbari mengemukakan, kata  ar-Rūḥ dan Al-nafs’ menurut artinya sama yaitu jiwa.
2)      Abu Haițam menyatakan bahwa Rūḥ adalah nafas yang berjalan di seluruh jasad.Jika Rūḥ keluar maka manusia tidak akan bernafas.
3)      Ibnu Kaśīr mengemukan Rūḥ itu diapakai ddalam berbagai arti tetapi yang paling umum ialah suatu yang dijadikan sandaran bagi jasad dan dengan Rūḥ itu tercipta kehidupan.
4)      Al-farābi mengemukakan kata ar-Rūḥ itu mempunyai banyak arti yaitu (1) al-farh artinya kegembiraan (2) Al-Qur`ān (3) al-amr` artinya perintah atau arah (4) Al-nafs artinya jiwa (Asy’arī, 1992:70-71).
      
       Di dalam Al-Qur`ān  terdapat 21 kata ar-Rūḥ dalam 20 ayat. Kata ar-Rūḥ digunakan dalam Al-Qur`ān dengan berbagai arti dan konteks, di antaranya;
1)      Kata ar-Rūḥ dikaitkan dengan kata al-qudūs. Allāh SWT berfirman:

 Artinya:
 “ Dan Sesungguhnya kami Telah mendatangkan Al Kitab (Taūrat) kepada Musa, dan kami Telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan Telah kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada Isa putera Maryam dan kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus. apakah setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; Maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?” (Q.S. Al-Baqarah [02] : 87).
           
Tentang makna ar-Rūḥ al-qudus ini, ada beberapa pendapat. Pertama, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ar-Rūḥ al-qudus adalah malaikat Jibril. Kedua, kitab Injil. Ketiga, Rūḥ yang dapat menghidupkan orang mati. Keempat, Rūḥ yang dianugrahkan kepada Nabi Isa a.s. sebagai penghormatan kepadanya ( Asy’arī, 1992: 72).
2)          Kata ar-Rūḥ dikaitkan dengan kata al-amīn. Allāh   SWT berfirman:
           
         Artinya:
“Dia dibawa turun oleh Ar-RūḥAl-amīn (Jibril)” (Q.S. Asy-Syu’arā` [26] : 193).

                Makna ar-Rūḥ al-amīn adalah malaikat Jibril yang terpercaya untuk menyampaikan wahyu kepada nabi-nabi Allāh.

3)          Kata ar-Rūḥ sebagai perintah Allāh yang disampaikan malaikat kepada hamba-hamba Allāh. Allāh SWT berfirman:
        Artinya:
“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: "Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku" (Q.S. An-Naḥl [16] :2)

4)        Kata ar-Rūḥ untuk menyatakan sesuatu yang dihembuskan dari Tuhan ke dalam diri manusia, dan menjadi bagian dari manusia. Dan selanjutnya Tuhan juga menjadikan untuknya pengelihatan, pendengaran dan hati. Allāh SWT berfirman:
        Artinya:
“Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur” (Q.S. As-As-Sajdah  [32] : 9).

d.        Tahap Nafs
Menurut Ibnu Ishak kata nafs dalam bahasa Arab digunakan dalam dua pengertian. Pengetian pertama seperti dalam ungkapan telah keluar  nafas seseorang atau nyawanya, sedangkan pengertian kedua seperti dalam ungkapan yaitu seseorang telah membunuh dirinya, artinya ia telah menghancurkan seluruh dirinya dan hakekatnya (Asy’arī, 1992: 78). Menurut Ibnu al-Bari bahwa nafs bisa bermakna Rūḥ dan bisa bermakna hal yang bisa membedakan sesuatu dari yang lain. Menurut Ibnu Abbas, dalam setiap diri manusia terdapat dua unsur nafs, yaitu akal yang bisa membedakan sesuatu, dan rūḥ yang menjadi unsur kehidupan (Asy’arī, 1992: 78).
            Di kalangan fisalat Islām, nafs diartikan sebagai jiwa. Pengertian ini dipengaruhi oleh alam pikiran Yunani, yaitu dari Aristoteles, yang dalam bukunya Nicomachean Ethics menyatakan bahwa jiwa (the soul) di bagi menjadi dua bagian, yaitu (1) Jiwa Irrational dimiliki bersama oleh manusia dan semua yang hidup serta tumbuh-tumbuhan yang menyebabkan adanya pertumbuhan dan perkembangan (2) Jiwa Rational adalah berpikir dan memutuskan, yang khusus dimiliki oleh manusia (Asy’arī, 1992: 78).
Teori ini, oleh Ibnu Sina dikembangkan dengan menyatakan adanya tiga jiwa yaitu (1) Jiwa tumbuh-tumbuhan (Al-nafs’Al-Nabatiyyah) (2) Jiwa Binatang ( Al-nafs’Al-hayyawaniah) (3) Jiwa manusia ( Al-nafs’Al--Insāniah). Jiwa tumbuh-tumbuhan (Al-nafs’Al-Nabātiah) mempunyai tiga daya, yaitu (1) Daya membiak (Al-Muwallidah) (2) Daya makan (al-Gadiah) dan (3) Daya Tumbuh (Al-Mu’niah). Jiwa Binatang mempunyai dua daya, yaitu (1) Daya penggerak ( Al-Muharrikah) dan (2) DayaMenserap (Al-Mużrikah) sedangkan jiwa manusia hanya memiliki daya berpikir yang disebut akal ( ’aqal) (Asy’arī, 1992: 78).
 Dalam Al-Qur`ān terdapat 140 ayat yang menyebutkan kata Nafs bentuk jamaknya Nufūs`terdapat dalam 2 ayat dan bentuk jamak lainnya anfūs terdapat dalam 153 ayat. Al-Qur`ān menggunakan kata nafs dalam empat pengertian yaitu;
Pertama, dalam pengertian nafsu. Allāh SWT befirman:
Artinya:
     “Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi raḥmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang” (Q.S. Yūsuf [12] : 53).

Kedua, dalam pengertian nafas atau nyawa. Allāh SWT berfrman:
Artinya:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia Telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan” (Q.S. Al-’Imrān [03] :185).

Ketiga, dalam pengertian jiwa. Allāh SWT berfirman:
Artinya:
“(27)  Hai jiwa yang tenang. (28)  Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diriḍāi-Nya. (29)  Maka masuklah ke dalam Jama’ahhamba-hamba-Ku. (30)  Masuklah ke dalam syurga-Ku (Q.S. Al-Fajr [89] : 27).

Keempat,  dalam pengertian diri dan kepribadian     
Artinya:
“ Katakanlah: "Apakah Aku akan mencari Tuhan selain Allāh, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan” (Q.S. Al-An’ām[06]: 164).

Jasad sebagai sarana perhubungan fisik dengan alam sekitarnya, yang merupakan bahan dasar bagi pembentukan kebudayaan. Ḥayat  sebagai daya hidup yang menggerakan seluruh potensi diri dalam peroses pembentukan kebuadaayn dan Rūḥ sebagai kekuatan yang bersifat kereatif yang memungkinkan munculnya gagasan-gagasan dalam suatu konsep pembentukan kebudayaan (Asy’arī, 1992 :84).
Berbagai pandangan tentang manusia tersebut berorentasi pada ke­beradaan dan kehidupan manusia sebagaimana adanya di dunia. Ma­nusia dipandang sebagai suatu keberadaan dengan berbagai kondisinya, didalami, dianalisis, dan bahkan diukur. Dalam pandangan tersebut, manusia dipahami dalam konteks keduniaanya, sedangkan sisi keakhi­ratannya, yaitu sisi dari mana manusia berasal dan akan kembali, belum menjadi bagian dari pandangan terdahulu itu. Pandangan-pandangan seperti itu belumlah lengkap, mengingat bahwa manusia bukanlah seke­dar makhluk keduniawian, melainkan juga makhluk dengan sisi keakhi­rattan (Prayitno, 2009: 13).
Plato mengibaratkan (Tafsīr, 2006: 10) bahwa “ Jiwa manusia memiliki tiga elemen, yaitu roh, nafsu, dan rasio”.  Dengan mengandaikan bahwa Rūḥ itu sebagai kuda putih yang menarik kereta bersama kuda hitam (nafsu), yang dikendalikan oleh kusir yaitu rasio yang berusaha mengontrol laju kereta. Sesuai dengan firman AllāhSWT:
Artinya:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allāh kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allāh telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allāh tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan”(Q.S. Al-Qașaș [28]:77).

Pribadi manusia merupakan kombinasi dari Rūḥ dan badan yang memiliki duniannya sendiri-sendiri yakni; dari amr dan khaliq. Alasan utama dari penciptaan Rūḥ ialah agar manusia  berada berada di dunia memperoleh pengetahuan dengan menggunakan akal pikiran untuk mengetahui ciptaan Allāh dan melalui hal tersebut kemudian ia juga mengenal Allāh (Othman, 1987: 117). Al-Gazali menjelaskan bahwa:
Pembentukan (Taswiyyah)  merupakan suatu peroses yang timbul di dalam materi yang membuatnya cocok untuk menerima Rūḥ materi itu merupakan saripati tanah liat nabi adam yang merupakan cikal bakal bagi keturunannya. Cikal bakal atau sel benih  (Nutfaḥ) ini, yang semula adalah tanah liat, setelah melewati berbagai peroses  akhirnya menjadi manusia. Tanah liat berubah menjadi makanan (melalui tanaman dan hewan). Makanan menjadi darah, darang menjadi sperma jantan dan indung telur betina. Sperma Jantan kemudian bersatu dengan indung telur betina dalam suatu wadah. Hasil dari persatuan yang terjadi di dalam rahim ini setelah melalui suatu peroses transformasi  yang panjang sehingga mencapai resam tubuh yang harmonis  dan menjadi cocok untuk menerima rūḥ (Othman, 1987: 115).

Al-jism (tubuh) adalah bagian yang paling tidak sempurna pada manusia. Ia terdiri atas unsur-unsur materi, yang pada suatu saat posisinya bisa rusak. Karena itu, ia tidak kekal. Di samping itu, al-jism  tidak mempunyai daya sama sekali. Ia hanya memiliki prinsip alami yang memperlihatkan bahwa ia tunduk kepada kekuatan-kekutan di luarnya. Tegasnya,  al-jism tanpa al-Rūḥ dan al-Nafs  adalah benda mati (Nasution, 1998 : 65). Menurut Al-Gazali bahwa:
Segala sesuatu yang ada di dalam diri mansuia, dari seleranya yang terendah sampai  kelengkapan yang tertinggi, masing-masing mempunyai tempat dan tujuan di dalam mencapai dalam mencapai tujuan akhirnya dengan mengecualikan Rūḥ. Setiap sifat yang dimiliki manusia  memiliki dua bisikan hati implus yakni; Pertama, untuk mendapatkan sesuatu yang dapat memuaskan dirinya sendiri atau dalam mengejar tercapainya kebahagian yang sesungguhnya, tanpa menghiraukan akibatnya, terhadap perkembangan pribadinya secara utuh; dan Kedua,  dalam rangka memainkan peranananya di dalam suatu keselarasan, yang diperlukan antara sesuatu, yang menjadi dasar kepribadian manusia. Aspek yang disebut pertama itulah yang membuat dirinya sulit untuk mencapai tujuaannya secara baik dan ini pula yang menempatkan dirinya di dalam percobaan (Othman, 1987: 121-122).

Menurut Al-Gazali (Othman, 1987:124) bahwa “ Kebahagiaan manusia mempunyai empat bagian; 1) pengetahuan tentang manusia itu sendiri (Rūḥ dan tubuh); 2) pengetahuan tentang Allāh 3) pengetahuan tentang dunia ini menurut kenyataannya;  4) pengetahuan tentang dunia Illahi sebagaimana adanya.
Diri manusia (Nafs) tidak dapat dijawab secara sederhana pengertian ini dimaksudkan bahwa Rūḥ badan terikat dan berkeja bersama-sama, tetapi pernyataan ini mengandung beberapa pertanyaan seperti misalnya apakah sifat keperibadian manusia dan hubungan antara Rūḥ dan badan.


1)        Sifat kepribadian manusia

Corak sifat kepribadian manusia dan peran manusia di dalam pengembangannya, terutama dimaksudkan untuk memperlihatkan berbagai keadaan Rūḥ dalam kepribadian seseorang. Al-Gazali mengemukakan bahwa:

Adanya suatu hirarki dalam tujuan yang menguasai analisisnya dan merupakan dasar konsepsinya tentang tingkatan yang normal pengembangan pribadi manusia dan dari pengalaman dan dari penahanan atau penjerumusan tipe-tipe manusia (Othman, 1987: 131).

0 comments:

Post a Comment